Budaya Ta'dzim Kyai Warga NU Dan Tolak Ukur Pilpres 2019
Doktrin Ta'dzim Kyai, Pancasila vs Khilafah, dan Aktualisasi Kepemimpinan Nasionalis Religius
Ketika KPU secara resmi memberitahukan pasangan calon presiden dan wakil presiden di
Pilpres 2019, nyaris tak terdapat yang mengira bahwa kesudahannya Capres Petahana Joko
Widodo atau Jokowi berpasangan dengan
KH. Ma'ruf Amin sebagai Cawapres.
Ketidakpercayaan ini tak hanya dinyatakan pendukung Jokowi, mereka yang terdapat dalam deretan 02
Prabowo- Sandi pun menunjukkan hal
yang sama dalam sekian banyak ekspresinya. Semua tak menduga bahwa Kyai Ma'ruf lah yang lantas terpilih, menggugurkan Mahfud
MD dan kandidat beda yang
sebelumnya dinilai jauh lebih potensial.
Hingga akhir masa kampanye dan sampai dilaksanakannya
pengambilan suara hari ini, saya sendiri masih bertanya-tanya; siapa
gerangan orang yang pertama kali
melontarkan gagasan Kyai Ma'ruf
Cawapres Jokowi ini?
Kemarin, dalam diskusi panjang bareng dua orang senior, pertanyaan itu saya lontarkan. Dan jawaban cukup lumayan meyakinkan. Disertai alasan-alasan fundamental yang tak terbantahkan.
Muhaimin Iskandar atau yang biasa disapa Cak Imin ialah sosok politisi yang dinamakan sebagai inisiator sekaligus
orang yang sangat berperan dalam
pencawapresan Kyai Ma'ruf.
Ketua Umum PKB itu
dirasakan punya pemahaman dan pengetahuan yang komprehensif berhubungan kultur NU dan Nahdliyyin, khususnya prihal hormat dan ta'dzim
Guru atau Kyai yang dalam bahasa Pesantren dinamakan "Sam'an Wata'atan." Di samping itu, Muhaimin termasuk
sebagai elit politik yang mempunyai
ilmu dan wawasan tentang
pertumbuhan dinamika politik nasional terkini yang lumayan komprehensif pula.
Karenanya Alumni Sospol UGM itu dirasakan sangat mungkin
menyaksikan adanya potensi besar yang dipunyai Kyai Ma'ruf guna
terpilih menjadi Cawapres Jokowi di Pilpres 2019 ini.
Lepas dari benar tidaknya Muhaimin sebagai dalang dari drama terpilihnya Kyai Ma'ruf sebagai Cawapres Jokowi, pertanyaan mendasarnya ialah kenapa mesti Kyai Ma'ruf, dan apa kontribusinya guna Indonesia ke depan?
Ada tidak sedikit pengamat menyampaikan analisanya berhubungan jawaban pertanyaan di
atas. Secara umum mengaitkannya dengan kepentingan elektoral, dalam rangka
menggaet sokongan warga NU yang
notabene dinyatakan sebagai
Ormas Islam terbesar dengan jutaan jamaah. Alasan ini paling logis, karena
kenyataan yang terdapat sekarang beberapa besar Nahdliyyin secara
masif mengaku dukungannya pada
pasangan Jokowi-Ma'ruf.
Di atas kepentingan elektoral, saya menyaksikan ada kepentingan beda yang begitu besar dari semua begawan bangsa guna
Indonesia ke depan, yaitu demi
kedaulatan NKRI dan Pancasila sebagai ideologi negara dari rongrongan kumpulan Islam transnasional yang mengangkat konsep khilafah.
Seperti diketahui, jauh hari sebelum pasangan
Capres-Cawapres ditentukan, kumpulan pengusung
khilafah laksana eks HTI dan kumpulan lainnya yang diantaranya
bahkan terindikasi sebagai teroris,
berduyun-duyun merapatkan
deretan ke dalam kubu oposisi.
Gerakan Tagar "2019 Ganti Presiden" yang mereka
sebut sebagai "Jihad Konstitusional"ialah satu dari sekian
tidak sedikit gerakan yang
mengaku dengan jelas baik secara visual maupun artikel bahwa kelompok-kelompok perongrong Pancasila dan
Kedaulatan Negara terdapat dalam deretan oposisi, yang dalam momentum
Pilpres ini bertransformasi menjadi penyokong
02.
Pernyataan Hendropriyono yang notabene seorang Profesor
Filsafat Intelejen dan sekaligus mantan Ketua BIN,pertama ialah peringatan
untuk kita semua. Sesuai kompetensinya, Hendropriyono sebenarnya hendak rakyat Indonesia tahu tentang kenyataan adanya rongrongan ideologi
Pancasila dan NKRI yang dilaksanakan oleh semua pengusung khilafah. Dalam
konteks Pilpres sekarang, Hendropriyono menyebutnya sebagai pertarungan
Pancasila vs Khilafah.
Sebenarnya tidak
saja Hendropriyono yang mengungkap urusan ini. Ada sejumlah tokohurgen lainnya sebelum dan sesudahnya
telah mengaku hal yang sama baik
secara langsung maupun melewati pernyataan-pernyataan
simbolik laksana yang dikatakan tokoh-tokoh NU.
Lalu apa hubungan terpilihnya KH. Ma'ruf Amin sebagai
Cawapres Jokowi dengan kenyataan adanya
pertarungan Pancasila vs Khilafah seperti
yang dihembuskan Hendropriyono?
Hormat dan ta'dzim guru atau Kyai ialah budaya yang melekat dalam sehari-hari warga NU. Dalam dunia pesantren, Sam'an Wata'atan ialah doktrin yang secara turun
temurun diwariskan untuk Santri.
Sementara anda tahu Kyai Ma'arif ialah guru dari jutaan Santri yang
sekaligus sebagai Rais Aam NU. Posisinya di NU tersebut secara bersamaan menjadikannya sebagai Guru atau panutan penduduk NU yang secara otomatis mesti di hormati dan dita'dzimi.
Sementara NU secara lembaga keagamaan semenjak menjelang kemerdekaan sampai zaman milenial sekarang, tokoh-tokohnya selalu menyokong perjuangan berdirinya
Negara yang menurut pada
Pancasila dan UUD 1945 dan secara tegas
menampik berdirinya negara Islam.
Garis perjuangan tersebut lantas mengharuskan NU berhadapan dengan siapapun yang mengerjakan upaya perongrongan
terhadap Pancasila dan NKRI, tak terkecuali dengan semua pengusung khilafah yang dalam konteks Pilpres kini bersatu bareng di kubu Paslon 02.
Disepakatinya KH. Ma'ruf Amin menjadi Cawapres Jokowi tidak saja urusan Pilpres,lagipula sekedar kepentingan elektoral
politisi dan Parpol. Lebih dari itu, kepentingan negara dan bangsa melawan
gerakan perongrong ideologi Pancasila dan NKRI ialah di atas seluruh kepentingan
tersebut. Dan dengan memilih Kyai Ma'ruf
dipercayai dapat membulatkan perjuangan
kaum Nahdliyyin bareng kelompok
nasionalis lainnya yang terdapat dalam deretan Paslon 01 Joko Widodo Ma'ruf
Amin. Inilah aktualisasi konsep kepemimpinan "Nasionalis Religius"
yang sebetulnya di era yang
serba cepat laksana sekarang.
Posting Komentar untuk "Budaya Ta'dzim Kyai Warga NU Dan Tolak Ukur Pilpres 2019"