Soe Hok Gie Legenda Kaum Intelektual Muda Indonesia
Sebuah buku dokumentasi catatan harian seorang intelektual
muda Indonesia (bernama Soe Hok-Gie) yang ditulis ketika dia berumur 15-27
tahun (1957-1969), tepat pada sebuah era dimana bangsa Indonesia mengalami
pergulatan politik dan sejarah yang paling gelap sekaligus paling mencekam dalam
sejarah bangsa Indonesia.
Pada 50 tahun yang lalu,tepat pada tanggal 16 Desember 1969.
Soe Hok Gie menghembuskan nafas terakhir di tanah tertinggi di Pulau Jawa
karena (diduga kuat) menghirup gas beracun, pada usia 27 tahun kurang satu
hari. Peristiwa kematiannya ini begitu menghebohkan banyak elemen masyarakat
Indonesia pada masa itu, dari mulai para akademisi, wartawan, kaum aktivis
mahasiswa, dan banyak pihak lainnya. Sampai-sampai ada sebagian masyarakat yang
menduga Gie sebetulnya dibunuh oleh pihak pemerintah Orde Baru pada masa itu,
karena dinilai terlalu keras mengkritik pemerintah.
Gie menutup usia pada umur yang terbilang cukup
muda (27 tahun), tapi buah pemikirannya, tulisan-tulisannya yang fenomenal,
kritik tajamnya terhadap pemerintah, sampai skripsinya tentang sejarah
pemberontakan tetap menjadi bahan diskusi dan perbincangan di kalangan
akademisi kampus, mahasiswa, dosen-dosen, bahkan para professor dan peneliti
sejarah dari generasi ke generasi hingga saat ini. Lantas sebetulnya apa
sih yang spesial dari hidup Gie? Apa sih yang menyebabkan sebagian orang bahkan
ada yang menduga bahwa kematiannya disebabkan karena percobaan pembunuhan?
Apa sih yang bisa diraih oleh seorang anak muda hanya dengan 27 tahun
hidupnya? Sampai-sampai namanya bak bagaikan legenda yang terus terdengar dari
setiap generasi ke generasi angkatan mahasiswa selama 45 tahun terakhir.
Baiklah, pada 50 tahun kematian Soe Hok Gie ini, saya mencoba
untuk mengulas kembali kisah perjalanan hidup dari seorang legenda mahasiswa
Indonesia. Pastinya, sebuah tulisan artikel seperti ini gak mungkin bisa
merangkum kehidupan seseorang yang begitu panjang, begitu kompleks, dan
begitu dalam dengan segala dinamika pemikiran dan emosi di dalamnya. Tapi
moga-moga apa yang saya tulis di sini bisa menjadi
perpanjangan tangan buat setiap generasi yang membaca tulisan ini,
sehingga bisa kembali terinspirasi oleh potret pemuda Indonesia yang
selalu gelisah, yang (walaupun sendirian) berani berdiri tegak dan berteriak
lantang akan kebenaran pada sebuah masa-masa paling gelap dan
berbahaya yang pernah dialami bangsa Indonesia.
Latar Belakang Kehidupan
Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942, ketika dunia
berada di tengah puncak perang dunia kedua dan Indonesia masih dalam proses
perjuangan menuju kemerdekaan di bawah kependudukan Jepang. Kalu kita mau
bicara tentang hidup dan buah karya pemikiran Gie tentang Indonesia,
sedikit banyak anda juga harus memahami tentang latar belakang
lingkungan pada saat Gie dibesarkan. Untuk seseorang yang lahir di tahun 40an, anda
bisa bayangkan bahwa Gie dibesarkan dan hidup ketika negara Indonesia
ibarat bayi yang baru mulai merangkak untuk berdiri dan berjalan sendiri.
Saat itu, pastinya Indonesia belum sekompak sekarang ini yang bisa begitu
berapi-api membela timnas sepak bola saat melawan negara tetangga. Pada masa
awal-awal berdirinya negara Indonesia, negara kita masih banyak diliputi
kemelut dengan berbagai macam bentuk kepentingan.
Pada masa-masa kecil-remaja Gie, saat itu Indonesia masih
belajar untuk menemukan karakter dan jati diri bangsa yang sesungguhnya, di
mana rakyat Indonesia sendiri dari Sabang sampai Merauke itu masih dalam proses
mencintai negara yang baru saja berdiri. Sehingga seringkali masih “rewel” dan
“bandel” dengan sederetan pemberontakan yang menuntut daerahnya untuk lepas
dari kedaulatan RI seperti pemberontakan
Madiun (1948), pemberontakan PERMESTA di Manado (1958-1961), pemberontakan
DI/TII di Aceh (1953), pemberontakan PRRI di Padang (1958), Pemberontakan Republik
Maluku Selatan (1950), dan lain-lain.
Sementara itu di sisi lain, pemerintah Indonesia sendiri
belum punya sistem yang se-profesional sekarang ini. Pada masa-masa itu, semua
elemen masyarakat mau ikut terlibat dalam pemerintahan untuk ikut ambil
bagian mengatur arah bangsa ini. Dari mulai PNI, Masyumi, NU, PKI, Parkindo,
PSI, Murba, IKPI, PSII, Perti, dan masih banyak lagi. Jadi jangan dibayangkan
pada masa awal berdirinya negara Indonesia “semangat kemerdekaan 45” itu
dirayakan dengan penuh kekompakan oleh semua lapisan masyarakat untuk membangun
Indonesia.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, sebetulnya
bisa dibilang Indonesia banyak diwarnai oleh konflik kepentingan antara
kaum intelektual borjuis, militer, PKI, parpol keagamaan dan keandampok
nasionalis lainnya. Situasi politik di Indonesia pun masih dibilang
sangat kacau karena tidak adanya profesionalisme yang menyebabkan korupsi,
kolusi, dan nepotisme merebak dengan tidak terkendali dan (hampir)
semua pihak lebih mementingkan kepentingan partainya masing-masing.
Itulah kurang lebih gambaran situasi yang menemani Gie dari kecil hingga
remaja, yang tentu berpengaruh besar terhadap pandangan, pemikiran,
gagasan, serta keputusan-keputusan Gie selama hidupnya.
Masa Kecil-Remaja Gie
Gie kecil mulai bersekolah di Sin Hwa School, kemudian masuk
SMP Strada di daerah Gambir, lalu melanjutkan masa remaja di SMA Kanisius
Jakarta jurusan sastra. Masa mudanya dia habiskan di Jakarta dimana dia
melihat potret ibukota negara Indonesia yang penuh dengan dinamika sosial dan
politik.
Di saat anak-remaja zaman milenial tumbuh dengan
sinetron, idol group, dan “reality” show selebriti. Gie menghabiskan masa
kecil-remajanya dengan bolak-balik ke perpustakaan umum dan beberapa taman
bacaan di pinggir-pinggir jalan Kota Jakarta. Di saat anak-anak lain
seumurannya masih suka keluyuran main layangan, gundu, atau ngoboy keliling
kota. Gie mengisi masa kecil-remajanya dengan membaca puluhan (atau
mungkin ratusan) “dongeng” sastra klasik, filsafat, sejarah, dan biografi
tokoh-tokoh yang mengubah dunia.
Kelahiran Seorang Intelektual Merdeka
Setelah lulus SMA, Gie melanjutkan kuliah di Fakultas
Sastra Jurusan Sejarah di Universitas Indonesia. Di saat
pemuda keturunan Tionghoa lain memilih jurusan yang lebih bergengsi,
seperti ekonomi, arsitek, dan kedokteran. Gie memilih Fakultas Sastra-Sejarah
sebagai gudangnya arus pemikiran, ide, serta gagasan untuk membangun kesadaran
politik yang lebih mendalam.
Pemahaman Gie tentang sejarah, politik,
ekonomi itu diuji di masa remaja ketika Indonesia berada dalam masa paling
kritis, paling gelap, dan paling mencekam sepanjang sejarah republik ini
didirikan. Pada saat itulah dia memenuhi panggilannya sebagai seorang
intelektual muda dengan menulis kritik keras terhadap pemerintah dan membangun
bibit-bibit kesadaran demokrasi agar setiap lapisan masyarakat Indonesia juga
memahami masalah di negaranya sehingga kelak ikut terlibat dalam
menentukan arah hidup bangsa ini.
Gie juga dikenal sebagai orang yang paling vokal mengkritik
kinerja pemerintahan era Soekarno (Orde Lama) serta menjadi salah satu
arsitek aksi andang-march dan demonstrasi besar
mahasiswa tahun 1966 yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa
secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat
kedaerahan.
Tapi jangan anda bayangin sosok Gie adalah
aktivis mahasiswa yang bertampang preman, yang berani berorasi di tengah-tengah
bentrokan dengan para aparat. Kalu jaman sekarang aktivis mahasiswa sering
digambarkan sebagai sosok preman kampus yang tukang demo, gondrong,
tatoan, kalu demo semangat banget padahal sebetulnya belum
tentu betul-betul paham konteks permasalahan yang sesungguhnya, hehe.. Gie
adalah sosok yang sangat bertentangan dengan image semacam itu.
Perawakannya kecil, alim, cara jalannya lucu, senjatanya
boleh jadi hanya pena dan mesin tik. Tapi ketajaman tulisannya di
harian Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa
Indonesia, and Indonesia Raya membuat seluruh politikus
korup saat itu gerah. Gie gak pernah sembarangan menulis dan pastinya
bukan tipe mahasiswa yang asal kritik doang. Dia tau betul situasi
ekonomi, dia tau betul situasi politik, dia tau betul masalah sosial, peran pemerintah,
dan konsekuensinya bagi masyarakat luas. Gie tau betul apa yang sedang dia
perjuangkan, he knows what he’s doing.
Universitas Indonesia memang menjadi ajang pertarungan
intelektual antara mereka yang mendukung Soekarno dan yang menentang Soekarno.
Keandampok-keandampok mahasiswa pun bermunculan dari kedua belah pihak, dari
mulai HMI, GMNI, CGMI, PMKRI, KAMI, dan lain-lain. Soe Hok Gie selama
menjadi mahasiswa tidak pernah tercatat resmi tergabung dengan gerakan keandampok
mahasiswa berlatar belakang politik. Menurut Gie, universitas adalah
tempat paling suci, tempat dimana arus pemikiran bergejolak dan tidak
boleh dibendung serta diatur oleh intervensi politik maupun
pemerintah. Bagi dirinya, universitas adalah benteng pertahanan terakhir dari
sebuah peradaban dan kemerdekaan intelektual sebuah bangsa.
Tunggu dulu sebentar, ngomong-ngomong kenapa Gie
mengkritik Presiden Soekarno? Bukankah Soekarno itu dikenal sebagai presiden
yang baik?
Yap, sebagian besar penduduk Indonesia saat ini mungkin
memandang Soekarno adalah pahlawan Indonesia nomor satu, sebagai bapak
proklamator yang memperjuangkan kemerdekaan RI secara intelektual, sekaligus
sebagai Presiden pertama RI yang disegani dunia internasional. Tidak
bisa dipungkiri memang Soekarno telah berperan luar biasa besar bagi bangsa ini
dari masa Hindia Belanda, memperjuangkan hak berpendapat dan kesetaraan di Den
Haag, keluar-masuk penjara, sampai bernegosiasi dengan pemerintahan Jepang
untuk memerdekakan Indonesia. Dialah sosok yang menaruh begitu banyak
dasar dan fondasi pemikiran dan gagasan bagi negara ini, sampai akhirnya
Soekarno dan angkatan 45 lainnya seperti Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan
lain-lain membawa Indonesia merdeka untuk membangun kedaulatan yang
mandiri.
Namun demikian, bahkan sosok Soekarno juga bukan
berarti seorang yang sempurna dan tanpa cacat. Ada masa dimana
kebijakan-kebijakan politiknya begitu banyak dipengaruhi oleh orang-orang di
sekitarnya yang pandai menjilat serta membawa kepentingan pribadi dan partai.
Sehingga di masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, ada begitu banyak
penyimpangan politik seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dari mulai pembentukan
demokrasi terpimpin yang semakin mengarah pada otoritarianisme, praktik
kolusi dan nepotisme (siapa yang punya koneksi akan diuntungkan), sampai
penyalahgunaan kekuasaan dimana uang dana revolusi yang dikumpulkan dari
keringat rakyat dan karcis-karcis bioskop, dihambur-hamburkan oleh orang-orang
pemerintah pusat di luar negeri.
Posisi Gie pada saat itu jelas menentang Soekarno sebagai
seorang politikus, tapi bukan berarti Gie tidak menghormati Soekarno. Dalam
salah satu catatan hariannya, Gie menulis:
“Saya kira saya menyukai Soekarno sebagai seorang
manusia, tapi sebagai seorang pemimpin, tidak!”– Soe Hok Gie
Memang dalam memahami kehidupan seseorang kita tidak bisa
melihat hanya dari satu sisi kehidupan saja. Kita tidak bisa melihat sebuah
keputusan atau kelemahan manusia sebagai hal yang seolah-olah bisa
menjawab, merangkum, serta mewakili seluruh kehidupan seseorang. Jadi
buat saya pribadi, apa yang disampaikan Gie pada catatan
harian, tulisan-tulisan, maupun skripsinya adalah satu sisi pandangan dari
“kacamata” Gie pada jaman itu, dan tidak mewakili sosok yang dia kritik
secara menyeluruh.
Setelah menggulingkan pemerintahan Soekarno, lalu apa
yang terjadi?
Anda tau bahwa pasca
penggulingan Soekarno, Indonesia dikuasai rezim militer Orde Baru yang diawali
dengan serangkaian penumpasan PKI yang dianggap sebagai dalang peristiwa
pembunuhan keenam Jendral. Pada masa-masa itulah, Indonesia memulai babak baru
yang sangat mencekam, dimana jutaan rakyat yang dianggap memiliki keterkaitan
erat dengan PKI dipenjarakan bahkan dibunuh tanpa proses peradilan yang jelas.
Pada masa-masa itu (pasca G30S/65), seluruh lapisan
masyarakat di Indonesia diam dalam kengerian. Para awak media dan wartawan
bungkam karena takut mengungkap kebenaran. Lalu siapakah orang pertama yang
berani berteriak lantang menyatakan kebenaran? Yak, siapa lagi kalau bukan Soe
Hok Gie. Dia adalah orang yang pertama kali dengan berani membeberkan
serangkaian peristiwa pembunuhan di Bali oleh rezim ORBA yang (pada saat itu)
diperkirakan menelankan korban sampai 80.000 jiwa.
Keberanian Gie mengungkapkan fakta pada masa
itu mungkin bagi sebagian orang saat itu dinilai naif, sembrono, bahkan
mungkin tidak sayang nyawa. Tapi bagi seorang Soe Hok Gie, itu adalah
panggilannya sebagai seorang intelektual, untuk berani menyatakan kebenaran.
Ada seorang teman Gie dari Amerika yang menulis surat bahwa Gie akan selalu
menjadi intelektual yang bebas tapi juga seorang pejuang yang sendirian.
Gie menjawab dengan kata-kata ini:
“Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau
mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka” – Soe Hok
Gie
Hobi & Romantisme Kehidupan Gie
Di sisi lain kehidupannya, Gie bukanlah orang yang
selalu menghabiskan waktunya dengan belajar, baca buku, menulis, dan
mengkritik pemerintah. Dia juga manusia biasa dengan segala kekonyolan dan
romantikanya tersendiri. Untuk hobby, Soe Hok Gie yang alim dan badannya kecil
ini punya hobby yang agak nyentrik saat itu, yaitu naik gunung!
Jauh sebelum kegiatan naik gunung itu populer di kalangan
anak muda jaman sekarang. Soe Hok Gie, Herman Lantang, Maulana, Koy
Gandasuteja, dan kawan-kawannya yang lain menjadi perintis
berdirinya MAPALA
UI (Mahasiswa Pecinta Alam), sebuah organisasi pecinta alam yang sampai
saat ini aktif sebagai salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) di Universitas
Indonesia. Ada satu penggalan kata-kata Soe Hok Gie ketika dia ditanya apa
alasan dan tujuannya mendirikan organisasi pecinta alam ini:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan
bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada sandagan. Patriotisme
tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan sandagan-sandagan. Seseorang hanya
dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai
tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama
rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti
pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” – Soe
Hok Gie
Anda bisa lihat sekali lagi bahwa Gie adalah
orang yang tau betul setiap alasan di balik tindakan dan keputusannya. Bagi
seorang Gie, rasa nasionalisme dan kecintaan pada bangsa itu nggak mungkin bisa
dipupuk hanya dengan sandagan dan bentuk propaganda yang dicekoki oleh
pemerintah (makanya terjadi banyak pemberontakan pada masa itu). Menurut dia
rasa nasionalisme dan rasa kebersatuan dengan bangsa itu hanya bisa tumbuh jika
orang yang bersangkutan terlibat dan menyentuh langsung secara tulus dan
melalui proses yang sehat.
Satu hal lain yang menarik dibalik kehidupan pribadi seorang
pemuda yang cerdas dan berani adalah bahwa ternyata Gie itu sangat payah
dalam percintaan, hahaha.. Menurut beberapa kawan dekatnya, Gie
dikenal sebagai orang yang pemalu dan payah kalu soal deketin cewek. Tapi
di satu sisi Gie adalah orang yang romantis, pecinta binatang, dan tulus dalam
persahabatan.
Kematian, Kesendirian, dan Warisannya bagi kita semua
Satu hal ironis yang dialami Gie menjelang kematiannya
adalah ketika semua orang lambat laun menjauhi dirinya karena takut dianggap
terlibat dan berkawan dengan pembela PKI. Pada salah satu tulisan catatan
hariannya, Gie menulis bahwa dia selalu merasa dihargai oleh ayah dari
gebetannya sebagai seorang pemuda yang cerdas, jujur, dan berani. Namun
demikian, dia (ayah gebetannya itu) tetap tidak menyetujui hubungan Gie
dengan putrinya karena dinilai terlalu berbahaya.
Banyak orang-orang yang mengagumi dan membutuhkan dirinya,
tapi sangat sedikit yang mau terlibat dan menemani Gie untuk berjuang
bersama. Mungkin itulah tamparan sekaligus ujian terbesarnya sebagai orang yang
memutuskan untuk menjadi manusia yang merdeka dalam melawan
kesewenang-wenangan. Bahwa untuk menjadi seorang yang jujur dan berani menyatakan
kebenaran, dia juga harus berani melawan kesepian, kesendirian, dan segala
konsekuensinya.
"Saya bermimpi tentang sebuah dunia dimana tokoh agama,
buruh dan pemuda bangkit dan berkata : Stop Semua Kemunafikan! Stop semua
pembunuhan atas nama apapun! Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun,
dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan
pembangunan dunia yang lebih baik.” – Soe Hok Gie
Referensi
Hok Gie, Soe.(1983).Catatan Seorang Demonstran.Jakarta:
LP3S
Badil, Rudy., et al.(2009).Soe Hok-Gie sekali lagi.Jakarta:
KPG
Hok Gie, Soe.(1997).Orang Orang Di Persimpangan Kiri
Jalan.Bandung: Mizan Media Utama
Hok Gie, Soe.(1964).Di bawah Lentera Merah.Jakarta:Perpustakan
Universitas Indonesia
Maxwell, John R.(2001).Soe Hok Gie: Pergulatan
Intelektual Muda Melawan Tirani.Jakarta: Grafiti pers
Posting Komentar untuk "Soe Hok Gie Legenda Kaum Intelektual Muda Indonesia"